Kota itu Terbakar dalam Sekejap, Erupsi Pompeii

Kota Pompeii.
Sebuah kota yang tenang, kala itu. Orang-orang menjalankan aktivitas sebagaimana biasanya. Tidak ada kegelisahan, tidak ada tanda bahaya.
Hingga perut bumi mulai berkelakar.

24 Agustus 79 M.
Gunung Vesuvius meledak, meluapkan apa yang ia simpan selama berabad-abad.
Ini bukan letusan gunung biasa.
Vesuvius adalah salah satu aktor erupsi paling mematikan dalam sejarah.
Dalam hitungan menit, ia ubah langit menjadi selimut gelap.
Batu apung turun tak henti, menghantam kota bak serbuan meriam dari langit.
Pompeii hanya bisa pasrah pada waktu.

Tak lama setelah hujan batu berhenti, gelombang panas datang.
Lebih cepat dari angin ribut. Lebih panas dari apa pun yang bisa dibayangkan manusia. Jalan-jalan disapu bersih. Rumah-rumah runtuh.
Warga tak punya kesempatan untuk berlari, apalagi bersembunyi.
Tubuh-tubuh membeku dalam posisi terakhir mereka.
Ada yang sedang berdoa.
Ada yang memeluk keluarga.
Ada yang tertidur, tidak sadar bahwa itu adalah napas terakhirnya.

Pompeii hilang dalam satu hari.
Dan selama hampir dua ribu tahun, kota itu terkunci di bawah abu— utuh, membisu, menunggu ditemukan.
Saat arkeolog membuka kembali kota ini, mereka seakan menemukan waktu yang berhenti.
Meja makan yang belum dibersihkan.
Lukisan dinding yang masih melekat.
Dan manusia-manusia terakhir Pompeii… masih berada di tempat mereka jatuh.
Erupsi Vesuvius tidak hanya menghancurkan sebuah kota.
Ia mengabadikan detik-detik terakhirnya.
Dengan cara yang tidak pernah diinginkan siapa pun.
Penulis:
Editor: Erniyati Khalida